Lelaki Bermata Biru Dengan Suara Merdu

بسم الله الرحمن الرحيم

اللهم صل على محمد وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد، اللهم بارِك على محمدٍ وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد

Beliau merupakan seorang lelaki yang lahir pada tahun 110 hijriyah di negri Mesir. Kulit putih, rambut pirang dan memiliki perawakan yang tidak terlalu tinggi merupakan gambaran penampilan pemuda Mesir bermata biru ini.

Nama lengkapnya adalah Abu Sa’id Utsman bin Sa’id bin Abdullah al-Mishri. Sedangkan julukan Warsy sendiri ia dapatkan dari Nafi’ karena kulitnya yang putih, sebab “Warsy” merupakan nama sebuah makanan yang terbuat dari susu.

Warsy dikenal memiliki semangat pantang menyerah. Ia rela meninggalkan tanah kelahirannya menuju kota Nabi agar bisa talaqqi kepada Imam Nafi’ yang merupakan Qari penduduk Madinah. Letihnya perjalanan tak akan mampu menghentikan langkahnya.

Sesampainya di Kota Nabi ia segera mencari sang Imam yang dituju. Ia sadar bahwa tak ada waktu untuk bersantai, sebab bekal yang dimilikinya untuk hidup di tanah rantau tak begitu banyak.

Saat berhasil menemukan majlis yg diinginkan, perasaannya bercampur aduk antara bahagia dan bingung. Imam Nafi’ terlihat tak sanggup menerima murid tambahan dikarenakan jumlah murid yg ada sudah teramat banyak. Bahkan tiap murid hanya memiliki kesempatan untuk membaca 30 ayat dalam sehari, tak lebih dari itu.

Keadaan ini tak lantas membuatnya putus asa. Ia segera memutar otak mencari cara agar tetap bisa talaqqi kepada guru satu ini. Sebuah ide cemerlang muncul dalam kepalanya, yaitu meminta bantuan kepada orang terdekat sang Imam.

Saat akhirnya diijinkan untuk talaqqi, Warsy diminta untuk bermalam di masjid Nabawi. Sebab Imam Nafi’ biasa mendahulukan siapa yang pertama kali datang untuk talaqqi.

Seusai sholat shubuh beliau pun bertanya kepada Warsy: “Apakah engkau bermalam disini?”, “Betul” jawabnya, “Kalau begitu engkau berhak untuk talaqqi lebih dahulu”.

Akhirnya Warsy memulai membaca al-Quran dihadapan sang Imam. Suaranya begitu merdu hingga membuat para hadirin terkesima. Saat sampai pada ayat ke-30 ia pun diminta untuk berhenti, sebab itulah jatah untuk tiap murid.

Tiba-tiba berdirilah seseorang di majlis tersebut seraya berkata: “Aku hadiahkan 10 ayat dari jatahku untuknya, biarkan dia membaca 10 ayat lagi”.

Tak disangka, satu-persatu murid yang hadir saat itu terdorong untuk melakukan hal serupa hingga akhirnya ia sanggup khatam beberapa kali sebelum pulang ke negri asalnya.

Tahun demi tahun berlalu, lelaki Mesir ini telah berubah menjadi Qari yang masyhur. Para penuntut ilmu rela menempuh perjalanan jauh untuk talaqqi kepadanya, seperti yg ia lakukan dahulu.

Pengorbanan 10 ayat yg dulu diberikan oleh para murid saat di Madinah tidaklah sia-sia. Cara membaca al-Qur’an yang ia ajarkan bahkan terus diwariskan hingga saat ini dengan sebutan “Riwayat Warsy”. Satu pelajaran yg bisa kita ambil: jangan pernah meremehkan kebaikan sekecil apapun itu.

Diantara murid Imam Warsy adalah Abu Ya’qub al-Azraq, Abu Bakar al-Ashbahani, Ahmad bin Shalih al-Hafizh, Abdush Shamad bin Abdurrahman bin al-Qasim, Yunus bin Abdul A’la, ‘Amir bin Sa’id al-Khurasy dan Sulaiman bin Daud al-Mihri.

Beliau wafat di Mesir pada masa kekhalifahan al-Ma’mun, tepatnya pada tahun 197 hijriyah.

Referensi :

Ma’rifatul Qurra’ al-Kibar, Imam Adz Dzahabi

Ghayatun Nihayah, Ibnul Jazari

Tarikh al-Qurra` al-‘Asyarah, Abdul Fattah Al Qadhi