Serial Ahli Qiro’at #1: Generasi Pertama – Para Sahabat

بسم الله الرحمن الرحيم

اللهم صل على محمد وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد، اللهم بارِك على محمدٍ وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد

Alloh سبحانه و تعالى berfirman :

ثُمَّ اَوْرَثْنَا الْكِتٰبَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَاۚ

Kitab itu (Al-Qur’an) Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami. (QS. Fathir, Ayat 32)

Generasi yang tumbuh dalam balutan al-Qur’an tentu akan tumbuh menjadi generasi istimewa. Itulah yang telah diterapkan oleh Rosullulloh ﷺ dalam mendidik para sahabatnya, hingga menjadi generasi terbaik dari umat ini.

Disamping menerapkan kandungan al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari, mereka juga berusaha menjaga al-Qur’an di dalam dada serta menghiasi lisan mereka dengannya.

Kita perlu mempelajari bagaimana perjuangan para pendahulu kita dalam menjaga firman Alloh سبحانه و تعالى tersebut, sebab banyak sekali mutiara hikmah yang bisa kita peroleh saat menyelami kehidupan mereka.

Oleh karenanya, redaksi hurrasuddin akan berusaha menyajikan kisah hidup mereka dalam artikel lepas berseri dengan tagline: Serial Ahli Qiro’at.

Pada episode perdana kali ini, akan kami paparkan beberapa sahabat yang dikenal rajin dalam mempelajari al-Qur’an dari Nabi. Atau yang kita kenal dalam istilah sekarang dengan talaqqi dan “setoran hafalan al-Qur’an”.

Pertama, Utsman bin Affan رضي الله عنه

Kebanyakan kaum muslimin mungkin hanya mengenal beliau sebagai Kholifah ke-3 selepas Abu Bakar dan Umar bin Khoththob رضي الله عنهما. Namun jika kita telisik lebih dalam akan kita dapati bahwa beliau merupakan satu dari beberapa sahabat yang paling terkenal dalam masalah menjaga al-Qur’an dan mengajarkannya. Tak heran jika nama beliau senantiasa terpatri indah di sebagian besar ijazah sanad al-Qur’an.

Saat memegang tampuk kekholifahan, beliau memiliki kontribusi yang amat besar dalam sejarah kaum muslimin, diantaranya ialah jasa beliau dalam pembukuan al-Qur’an. Buah manis dari kerja keras beliau bisa kita nikmati hingga saat ini dalam mushaf al-Qur’an yang kita kenal dengan Rosm ‘Utsmani.

Beliau juga merupakan satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga sebagaimana dikabarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ, adakah jaminan yang lebih dahsyat dari itu??

Menyiapkan ratusan unta dan kuda serta seribu dinar untuk perang Tabuk, membebaskan ratusan bahkan ribuan budak, menginfakkan seratus unta beserta gandum yang dibawanya pada masa paceklik, mewakafkan sumur Rumiyah dimasa kekeringan, semua hal tersebut bermuara pada satu hal, mencari keridhoan Alloh سبحانه و تعالى.

“Apapun yang Utsman perbuat setelah ini tidak akan membuatnya celaka”, ucap baginda Nabi Muhammad ﷺ menjelang perang Tabuk. (HR. Turmudzi dan dihasankan oleh Albani)

Dari sekian banyak kelebihan beliau, ada satu keistimewaan yang tidak dimiliki manusia manapun dari umat ini, yaitu menikahi dua putri Rosululloh ﷺ, Ruqoyyah dan Ummu Kultsum. Julukan Dzunnuroin (pemilik dua cahaya) akhirnya melekat pada diri beliau karena keistimewaan ini.

Kedua, Ali bin Abi Tholib رضي الله عنه

“Tidak kudapati orang yang lebih piawai dari Ali bin Abi Tholib dalam membaca al-Qur’an.” (Abu Abdirrohman As Sulami)

Kholifah kaum muslimin yang ke-4 ini tumbuh besar dalam bimbingan Rosululloh ﷺ, tak heran jika al-Qur’an menjadi santapannya sehari-hari.

Sebagaimana Utsman bin Affan, beliau juga merupakan salah satu dari 10 sahabat yang dijamin masuk surga dan sekaligus merupakan menantu Rosululloh ﷺ.

Pada saat perang Khoibar berkecamuk ditahun 7 Hijriyah, beliau mendapatkan kepercayaan sebagai pemegang panji Rosululloh ﷺ. Diwaktu yang sama Rosul juga mengumumkan ke khalayak umum bahwa Ali رضي الله عنه merupakan sosok yang mencintai Alloh dan Rosul-Nya serta dicintai oleh keduanya.

Dua tahun setelahnya, tepatnya pada tahun 9 Hijriyah kaum muslimin bersiap untuk berangkat ke medan perang yang berlokasi di Tabuk. Namun lain cerita dengan Ali bin Abi Tholib, Rosul memerintahkannya untuk berdiam di Madinah berperan sebagai wakil beliau. Guratan kesedihan terlihat jelas di wajah beliau lantaran keinginan untuk berjihad dijalan Alloh sudah sangat menggebu didalam dada. Menanggapi hal tersebut Rosul pun menghibur seraya bersabda,

“Tidakkah engkau ridho memiliki kedudukan disisiku sebagaimana kedudukan Harun disisi Musa عليه السلام“? (HR. Bukhori)

Ketiga, Abu Musa al-Asy‘ari رضي الله عنه

Suatu hari di tahun 7 Hijriyah menjelang penaklukan benteng Khoibar, datanglah sekelompok orang dari kabilah al-Asy’ari, sebuah kabilah yang berasal dari negri Yaman. Butuh waktu yang cukup lama untuk bisa sampai di kota Nabi, terlebih lagi mereka harus menyebrangi lautan menuju Habasyah sebelum menuju kota Madinah. Namun semua itu terbayar saat berhasil berjumpa dengan Nabi Muhammad ﷺ. Diantara rombongan kabilah tersebut terdapat Abdulloh bin Qois, yang nantinya lebih dikenal dengan Abu Musa al-Asy-‘ari رضي الله عنه.

Meskipun kebersamaan beliau dengan Nabi terbilang cukup singkat, namun dengan karunia Alloh serta kegigihan dalam menuntut ilmu beliau akhirnya menjadi seorang yang alim lagi hafal al-Qur’an.

Selain kecerdasan, Abu Musa juga dikaruniai suara yang merdu, bahkan Rosul pun kagum dengan keindahan suara beliau saat melantunkan ayat-ayat suci al-Qur’an. Beliau bersabda,

“Sungguh engkau telah dikaruniai sebagian keindahan suara keluarga Dawud.“ (HR. Muslim)

Di zaman Nabi beliau dipercayakan sebagai pemimpin di sebagian wilayah Yaman yaitu, Zubaid dan Adn. Sedangkan pada masa Kholifah Umar bin Khoththob, beliau diangkat sebagai gubernur kota Kufah, hingga akhirnya dipercaya sebagai gubernur kota Basroh di zaman Utsman. Ini menunjukkan bahwa Abu Musa memiliki talenta seorang pemimpin.

Rosululloh ﷺ pernah mendoakan beliau, agar diampuni dosanya serta dimasukkan ke tempat yang mulia pada hari kiamat kelak. (HR. Muslim)

Keempat, Abu Darda’ al-Anshori رضي الله عنه

Abu Darda’ رضي الله عنه, sahabat Rosululloh ﷺ yang paling akhir masuk Islam dari kalangan kaum Anshor. Nama asli beliau adalah, Uwaimir bin Zaid bin Qois, berasal dari suku Khozroj. Beliau dikenal sebagai sahabat ahli dalam hal al-Qur’an. Sampai Anas bin Malik رضي الله عنه pernah menceritakan,

مَاتَ النَّبِيُّ صلي الله عليه وسلم وَلَمْ يَجْمَعْ الْقُرْآنَ غَيْرُ أَرْبَعَةٍ: أَبُو الدَّرْدَاءِ، وَمُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ، وَزَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ، وَأَبُو زَيْدٍ

Sepeninggal Nabi ﷺ tak ada seorangpun yang dapat mengumpulkan al-Qur’an (secara sempurna) kecuali empat orang: 1) Abu Darda, 2) Mu’adz bin Jabal, 3) Zaid bin Tsabit, 4) dan Abu Zaid.

Pembaca yang Alloh muliakan…

Kita semua familiar dengan halaqot-halaqot tahfizh yang menjamur di negeri ini. Bahkan di dunia pesantren tahfizh, dalam mengajarkan al-Qur’an kepada para santri, tak lepas dari metode ini. Yakni sekumpulan siswa yang dibina oleh seorang ustadz atau musyrif. Sang ustadz/musyrif menerima setoran hafalan dan membenarkan bacaan yang keliru.

Menariknya, ternyata metode ini dicetuskan dan dipopulerkan oleh seorang sahabat yang mulia, bernama Abu Darda’ رضي الله عنه.

Sahabat Abu Darda’ pernah menjabat sebagai hakim agung di Damaskus. Saat beliau menetap di Damaskus, beliau membuka halaqot-halaqot tahfizh untuk masyarakat Damaskus, negeri Syam dan sekitarnya, di masjid agung kota Damaskus.

Mari kita simak cerita dari Suwaid bin Abdulaziz رحمه الله berikut,

كان أبو الدرداء إذا صلى الغداة في جامع دمشق اجتمع الناس للقراءة عليه ، فكان يجعلهم عشرة عشرة ، وعلى كل عشرة عريفا، ويقف هو في المحراب يرمقهم ببصره ، فإذا غلط أحدهم رجع إلى عريفه ، فإذا غلط عريفهم رجع إلى أبي الدرداء يسأله عن ذلك

“Dahulu Abu Darda bila selesai sholat subuh di masjid agung Damaskus, orang-orang berkumpul untuk membacakan bacaan Qur’annya kepada beliau. Beliau mengelompokkan mereka, masing-masing kelompok beranggota sepuluh orang. Pada setiap kelompoknya ada seorang pembimbing (musyrif).

Abu Darda duduk di mihrab masjid sambil mengawasi jalannya halaqot tahfizh. Jika ada kesalahan bacaan dialami oleh anggota halaqot, mereka ia tanyakan ke pembimbing halaqot. Jika para pembimbing halaqot keliru (atau tak mampu menjawab), mereka tanyakan kepada Abu Darda, untuk menanyakan masalah tersebut.”

(Lihat: Ma’rifatul Qura’ al-Kibar, hal. 125)

Lihatlah bagaimana kepiawaian Abu Darda dalam mengajarkan al-Qur’an. Sebuah metode yang sangat efektif untuk dipergunakan dalam pembelajaran al-Qur’an. Terlebih saat jumlah murid banyak, yang tak memungkin seorang guru memegang atau membina mereka secara langsung.

Dengan menggunakan metode Abu Darda ini, cukup sang guru mendidik sejumlah siswa yang potensial. Lalu setelah dirasa siswa itu mampu memegang halaqot, ia tugasi untuk membina teman-temannya di halaqot. Adapun sang guru cukup mengawasi jalannya halaqot tahfizh dan bersiaga bila-bila ada musyrif halaqot yang bertanya tentang tajwid atau tafsir kepadanya dll.

Memang berapa jumlah santri Abu Darda kala itu?

Biarlah salah seorang murid Abu Darda, bernama Ibnu Musykim رحمه الله yang menceritakannya sendiri,

قال لي أبو الدرداء: اعدد من يقرأ عندي القرآن ، فعددتهم ألفا وستمائة ونيفا، وكان لكل عشرة منهم مقرىء

Abu Darda pernah berkata kepadaku, ”Tolong hitungkan berapa jumlah orang yang belajar al-Qur’an kepadaku..”

Setelah saya hitung ternyata jumlah mereka mencapai kisaran 1600 an. Setiap 10 diantara mereka, dibimbing oleh seorang muqri’ (orang yang pandai membaca Qur’an). (Lihat: Ma’rifatul Qura’ Al Kibar, hal. 125)

Jumlah yang sangat banyak…

Semoga Alloh melimpahkan ridho dan rahmatnya untuk sahabat yang mulia Abu Darda. Dari metode yang beliau cetus ini, banyak orang terbantu menguasai al-Qur’an. Semoga Allah membalas jasa beliau dengan sebaik-sebaik balasan.

Ringkasan biografi di atas, merupakan pembuka untuk kisah-kisah yang –insyaAlloh– akan kami hidangkan kepada para pembaca dalam Serial Ahli Qiro’at. Sebagaimana ayat yang kami kutip di awal tulisan, mereka merupakan hamba-hamba pilihan Alloh سبحانه و تعالى. Oleh karena itu, hendaknya kita belajar dari mereka sebab selalu ada kemungkinan untuk ikut serta menjadi manusia pilihan. Wallohu a’lam

Bersambung ..
Semoga bermanfaat!

===

Referensi :

Imam Adz Dzahaby, Ma’rifatul Qurrro al-Kibar