Tafsir al-Qur’an: QS. An-Naba’, Ayat 1-5

بسم الله الرحمن الرحيم

اللهم صل على محمد وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد، اللهم بارِك على محمدٍ وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد

Salah satu tujuan diturunkannya al-Qur’an adalah agar ditadabburi, maka hendaknya kita bukan hanya sekedar membacanya ataupun menghafalnya. Namun kita selami tafsir dan sebab turunnya ayat-ayat yang mulia pada al-Qur’an, agar kita tahu begitu agungnya Allah ﷻ dan mengambil pelajaran darinya. Surat pertama dari juz ‘amma yang akan kita selami kandungannya adalah surat an-Naba’ yaitu surat ke 78. Allah ﷻ berfirman:

١. عَمَّ يَتَسَاءَلُونَ

“Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?” (QS An-Naba’, Ayat 1)

Ayat ini turun sebagai bantahan terhadap orang-orang musyrikin, yang mengakui adanya Allah ﷻ namun mereka mengingkari adanya hari kiamat. Orang-orang musyrikin mengakui akan adanya pencipta, mereka mengenal Allah ﷻ. Dalil-dalil bahwasanya orang-orang musyrikin mengakui adanya Allah ﷻ sangatlah banyak. Seperti firman Allah ﷻ:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ

Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”. (QS. Luqman, Ayat 25)

Allah ﷻ berfirman:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ، اللَّهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَهُ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ، وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ نَزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ

“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: ‘Siapakah yang menjadikan langit dan bumi serta menundukkan matahari dan bulan?’ Tentu mereka akan menjawab: ‘Allah’, maka mengapa mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar). Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan baginya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Dan jika kamu menanyakan kepada mereka: ‘Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?’ Tentu mereka akan menjawab: ‘Allah’, Katakanlah: ‘Segala puji bagi Allah’, tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya). (QS. Al-‘Ankabut, Ayat  61-63)

Allah ﷻ berfirman:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَّنْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ خَلَقَهُنَّ الْعَزِيزُ الْعَلِيمُ

“Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’, niscaya mereka akan menjawab: ‘Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui’.” (QS. Az-Zukhruf, Ayat 9)

Allah ﷻ berfirman:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka akan menjawab: ‘Allah’, maka mengapa mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)? (QS. Az-Zukhruf, Ayat 87)

Allah ﷻ berfirman:

قُلْ لِمَنِ الْأَرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ، سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ، قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ، سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ، قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ، سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ

“Katakanlah (Muhammad), ‘Milik siapakah bumi, dan semua yang ada di dalamnya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah’. Katakanlah: ‘Maka apakah kamu tidak ingat?’ Katakanlah: ‘Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ´Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah’. Katakanlah: ‘Maka apakah kamu tidak bertakwa?’ Katakanlah: ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah’. Katakanlah: ‘(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?’.” (QS. Al-Mu’minun, 84-89)

Oleh karena itu, banyak diantara orang-orang musyrikin yang bernama Abdullah yang artinya hamba Allah ﷻ. Demikian juga orang-orang musyrikin dahulu mereka berhaji sebagaimana kaum muslimin berhaji, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits-hadits yang shahih tentang bagaimana kaum musyrikin melaksankaan ibadah haji dan umrah. Hanya saja mereka mencampurkan haji mereka dengan syirik dan bid’ah tidak sebagaimana haji yang dilakukan oleh leluhur mereka yaitu Nabi Ibrahim dan Nabi Isma’il ‘alaihimas salaam.

Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata:

كان المشركون يقولون: لبيك لا شريك لك، قال: فيقول رسول الله صلى الله عليه وسلم: -وَيْلَكُمْ، قَدْ قَدْ- فيقولون: إِلَّا شَرِيكًا هُوَ لَكَ، تَمْلِكُهُ وَمَا مَلَكَ، يقولون هذا وهم يطوفون بالبيت

“Kaum musyrikin berkata, ‘Labbaika laa syarika laka’ (Ya Allah kami memenuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu). Maka Rasulullah ﷺ berkata, ‘Celaka kalian, cukuplah, cukupkanlah!)’. Maka mereka (kaum musyrikin) berkata (dengan menambah), ‘illa syarikan huwa laka, tamlikuhu wamaa malaka’ (Kecuali sekutu milik-Mu yang Engkau memilikinya dan ia tidak memiliki)’. Mereka mengucapkan hal ini sambil thawaf di ka’bah.” (HR. Muslim No. 1185)

Intinya adalah orang-orang musyrikin mengakui adanya Allah ﷻ, hanya saja mereka mengingkari adanya hari kebangkitan. Sehingga tatkala Nabi ﷺ diutus oleh Allah ﷻ dan mengingatkan kepada kaum musyrikin akan adanya hari kebangkitan seakan-akan beliau berkata, “Hai kalian kaum musyrikin yang terjerumus kedalam berbagai macam kemaksiatan, yang terjerumus kedalam berbagai macam kesyirikan, dan praktek-praktek perkara yang diharamkan oleh Allah ﷻ kalian akan dibangkitkan oleh Allah ﷻ dan kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang telah kalian lakukan” maka ini menjadi buah bibir diantara mereka, mereka saling berbicara ada apa gerangan? Muhammad telah mengabarkan akan terjadinya hari kiamat. Seketika menjadi buah bibir yang hangat di kalangan mereka. Mereka bertanya-tanya mengapa hari kiamat bisa terjadi? Seakan-akan otak mereka tidak menerima akan adanya hari kiamat, mereka mengingkari bagaimana bisa manusia yang sudah meninggal dunia kemudian menjadi tulang-belulang bahkan tulang belulang tersebut sudah melumat dengan tanah tetapi masih bisa dibangkitkan oleh Allah ﷻ? Keheranan ini menimbulkan tanya diantara mereka. Inilah yang Allah ﷻ sebutkan dalam al-Qur’an: عَمَّ يَتَسَاءَلُونَ (tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?)

Kemudian Allah ﷻ berfirman:

٢. عَنِ النَّبَإِ الْعَظِيمِ

“Mereka bertanya tentang berita yang besar.” (QS. An-Naba’, Ayat 2)

An-Naba’ dalam bahasa Arab artinya berita, yaitu berita yang penting yang sedang mereka bicarakan. Bahkan Allah ﷻ sifatkan dalam hal ini dengan الْعَظِيمِ yaitu berita yang besar. Para ahli tafsir masa salaf memiliki 3 pendapat tentang makna firman Allah  النَّبَإِ الْعَظِيمِ ﷻ “tentang berita yang besar”.

Apa yang dimaksud dengan berita yang besar ini? Sebagian Salaf mengatakan bahwasanya yang dimaksud dengan berita yang besar tersebut adalah al-Qur‘an al-‘Azhim. Ini pendapat sebagian Salaf bahwasanya yang mereka perselisihkan dan ingkari adalah al-Qur’an al-Karim, karena al-Qur’an adalah berita yang agung sebagaimana firman Allah:

قُلْ هُوَ نَبَأٌ عَظِيمٌ

“Katakanlah: Berita itu (yaitu al-Qur’an) adalah berita yang besar.” (QS. Shad, Ayat 67)

Mereka berselisih tentang al-Qur’an. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah sihir, ada pula yang mengatakan sya’ir, dan ada juga yang mengatakan bahwa al-Qur’an itu adalah dongeng-dongeng orang-orang terdahulu.

Sebagian salaf yang lain menyatakan bahwa yang dimaksud dengan النَّبَإِ الْعَظِيمِ adalah kerasulan Nabi Muhammad ﷺ. Mereka sangat mengingkari kenabian Muhammad. Meskipun mereka mengenal dan menggelari Nabi sebagai al-Amiin (orang yang sangat amanah dan terpercaya), akan tetapi mereka kaget dan tidak menduga bahwa Muhammad akan menyatakan bahwa dirinya adalah utusan Allah.

Pendapat ketiga dari para salaf bahwa yang mereka ingkari dan mereka perdebatkan adalah hari kiamat atau hari kebangkitan setelah kematian. Kaum musyrikin mengingkari bahwa orang yang telah meninggal dunia akan dibangkitkan oleh Allah ﷻ. Adapun kematian maka kaum musyrikin tidaklah mengingkarinya, karena mereka telah melihat langsung bahwasanya orang hidup akan meninggal. Yang membuat mereka heran adalah bagaimana yang mati bisa dihidupkan kembali? Inilah yang mereka pertanyakan عَنِ النَّبَإِ الْعَظِيمِ yaitu tentang hari kiamat.

Apabila dicermati, konteks ayat yang Allah ﷻ sebutkan setelah ayat ini berbicara tentang hari kebangkitan. Sehingga pendapat yang lebih kuat dari 3 pendapat ini bahwa yang dimakskud dengan النَّبَإِ الْعَظِيمِ “berita yang besar” adalah berita dahsyat tentang hari kebangkitan pada hari kiamat. Pendapat ketiga ini dipilih oleh Ibnu Jarir at-Thabari (lihat Tafsir ath-Thabari 7/24), al-Baghawi (lihat Tafsir al-Baghawi 8/309), Ibnu Katsir (lihat Tafsir Ibnu Katsir 8/302), dan asy-Syaukani (lihat Fathul Qadir). Meskipun sebagian ulama mengkompromikannya dengan menyatakan bahwa yang dimaksud denga النَّبَإِ الْعَظِيمِ adalah al-Qur’an al-Karim yang di dalamnya disebutkan tentang adanya hari kebangkitan.

Diantara dalil yang menguatkan bahwasanya النَّبَإِ الْعَظِيمِ adalah hari kebangkitan, yaitu ayat setelahnya dimana Allah ﷻ mengatakan :

الَّذِي هُمْ فِيهِ مُخْتَلِفُونَ

“Yang mereka perselisihkan tentang hal ini.” (QS. An-Naba’, Ayat 3)

Diantara mereka (penduduk kota Mekah) terjadi perdebatan tentang suatu berita besar yang membuat mereka berselisih. Ada yang sekedar menyangka akan adanya hari kebangkitan namun tidak meyakini, ada yang meyakini akan adanya hari kebangkitan mereka itulah kaum muslimin, ada pula yang benar-benar mengingkari akan adanya hari kebangkitan yaitu dari kaum musyrikin arab. Kaum musyrikin arab lalu membodoh-bodohkan orang yang mengatakan akan adanya hari kiamat. Mereka berpendapat bagaimana bisa manusia yang sudah meninggal dunia kemudian menjadi tulang belulang, lalu lumat bercampur dengan tanah yang terkadang tidak bisa dibedakan mana tulang mana tanah saking hancurnya, kemudian dibangkitkan kembali oleh Allah ﷻ?

Allah ﷻ membantah persangkaan mereka dengan firman-Nya:

 كَلَّا سَيَعْلَمُونَ، ثُمَّ كَلَّا سَيَعْلَمُونَ

“Sekali-kali tidak, kelak mereka akan mengetahui. Dan kemudian sekali-kali tidak, mereka akan mengetahui (kebenaran dari hari kebangkitan tersebut).” (QS. An-Naba’, Ayat 4-5)

Sekarang mereka mengingkari, tetapi kelak mereka akan melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana mereka dibangkitkan. Mereka akan menyaksikan dahsyatnya hari kiamat tersebut. Seakan-akan Allah ﷻ menyatakan: “Mana akal kalian wahai kaum musyrikin? Apakah kalian menyangka bahwa kehidupan ini akan sirna begitu saja? Tidak ada hari kebangkitan dan tidak ada pembedaan? Kalian mengakui adanya Tuhan, kalian mengakui adanya Allah ﷻ, kalian percaya adanya pencipta, lantas kalian mengatakan pencipta tersebut hanya menciptakan begitu saja tanpa ada pertanggungjawaban di hari akhirat? Sehingga kalian menyangka tidak ada yang membedakan antara mana yang zhalim dan dizhalimi, semua sama saja menjadi tanah tulang belulang, tidak ada hari pertanggung jawaban, tidak dibedakan antara kafir dan beriman, tidak akan dibedakan antara yang mendustakan dan yang membenarkan?” Sesungguhnya ini adalah pemikiran yang konyol, sikap seperti ini tidak mungkin dilakukan oleh pencipta alam semesta yang Maha Hikmah dan Maha Bijak. Jika sikap seperti ini tidak layak dilakukan oleh seorang pemimpin dunia terhadap bawahannya apalagi Allah ﷻ terhadap ciptaan-Nya.

Beriman kepada akhirat merupakan perkara yang sangat penting. Karena ini akan mempengaruhi perjalanan hidup manusia. Seorang yang beriman kepada Allah ﷻ dan beriman bahwasanya dia akan dibangkitkan dan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah ﷻ, akan nampak dampaknya dalam kehidupannya. Dia tahu bahwa setiap lafal yang dia ucapkan, setiap perbuatan yang dia kerjakan, akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah ﷻ. Berbeda dengan seseorang yang tidak beriman akan hal ini, dia merasa bahwa dia tidak akan dibangkitkan. Sehingga dia akan melakukan segala kegiatan seenaknya karena dia merasa tidak akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah ﷻ.

Kemudian setelah itu Allah ﷻ mulai menyebutkan tentang kenikmatan-kenikmatan yang Dia berikan kepada manusia untuk mengingatkan kaum musyrikin bahwasanya Allah ﷻ adalah عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ “Maha Kuasa atas segala Sesuatu”, bahwasanya Allah ﷻ mampu untuk membangkitkan para hamba. Allah ﷻ menjelaskan bahwa penciptaan manusia adalah perkara yang ringan. Allah ﷻ berfirman:

لَخَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَكْبَرُ مِنْ خَلْقِ النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar (dahsyat) daripada penciptaan manusia akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ghafir, Ayat 57)

Alam semesta ini luar biasa luasnya, luar biasa megahnya. Allah ﷻ menciptakan ini semua dengan mudahnya, maka mudah pula bagi Allah ﷻ untuk sekedar membangkitkan manusia yang sudah menjadi tulang belulang. Bukankah Allah ﷻ telah menciptakan mereka sebelumnya dari ketiadaan?

Perkara ini (yaitu Allah menciptakan alam semesta) merupakan perkara yang diyakini oleh orang-orang musyrikin. Orang-orang musyrikin bukanlah dahriah -yaitu orang-orang yang mengingkari adanya Tuhan-, akan tetapi kaum musyrikin mengakui adanya Allah ﷻ, hanya saja mereka mengingkari adanya hari kebangkitan, sehingga Allah ﷻ menjelaskan kepada mereka: “jika kalian mengakui bahwasanya Allah Subhanallahu wata’ala lah yang telah menciptakan kalian, maka mengulangi penciptaan kalian lebih mudah perkaranya”. Diantara bentuk penjelasan Allah ﷻ kepada mereka adalah Allah menjelaskan bahwa yang menciptakan alam semesta ini adalah Allah ﷻ, dan penciptaan alam semesta lebih dahsyat daripada penciptaan manusia.

Oleh karena itu, dari ayat yang ke-enam dan seterusnya Allah ﷻ akan menyebutkan perkara-perkara yang berkaitan dengan penciptaan alam, diantaranya kenikmatan-kenikmatan yang Allah diberikan kepada orang-orang musyrikin. Allah ﷻ berfirman:

 أَلَمْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ مِهَاداً

“Bukankah kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?” (QS. An-Naba’, Ayat 6)

Bersambung, Insyaa Allah